Thursday, September 27, 2007

kemalaikatan

Aku ingin mengajukan sebuah istilah baru yaitu KEMALAIKATAN. Kata tersebut untuk menambah istilah KESETANAN yang sudah kita kenal selama ini. Sebelumnya, kita kerap menggunakan istilah "kesetanan" untuk pengemudi mobil atau motor yang melaju dengan kecepatan tinggi dan cenderung ugal-ugalan (mohon dicatat, dulu pengendara motor belumlah sebanyak belakangan ini). Jika kita melihat pengemudi atau pengguna jalan yang tidak disiplin, akan mudah sekali kita mengumpat "Setan!". Atau, jika menggunakan tata bahasa yang adab kita akan mengatakan, "Pengemudi atau pengguna jalan tersebut melaju sambil kesetanan".

Namun, menurutku saat ini istilah "kesetanan" sudah tidak layak lagi untuk terutama bagi pengendara motor yang jumlahnya semakin banyak dan cenderung tidak memiliki disiplin, etika, dan adab berkendara di jalan raya yang semakin padat. Mereka cenderung semaunya sendiri, tidak memiliki kesadaran bahwa manuver dan gerakan yang mereka lakukan kerap membahayakan bagi sesama pengendara motor lain maupun pengemudi mobil apalagi pejalan kaki. Hal tersebut terutama akan sangat terlihat ketika kita tengah berada di suatu kemacetan. Yang lebih miris adalah jika mereka mengalami kecelakaan yang melibatkan mobil, sudah hampir pasti bahwa pengendara motor akan 'merasa' benar dan pengemudi mobil 'pasti' salah.

Kisah "malaikat-malaikat" jalan raya di Jakarta tersebut bisa dibaca di sini . Salah satu bukti "kemalaikatan" para pengendara motor dapat ditunjukkan oleh kutipan berikut:
SIKAP seenaknya para pengendara motor juga tercermin dari kebiasaan mereka menggunakan jalur jalan yang berlawanan pada pagi dan sore hari, ketika lalu lintas di Jakarta sedang macet-macetnya. Kebiasaan ini umum dilakukan para penglaju dari kawasan pinggiran Jakarta, termasuk dari Bekasi, Ciputat, dan Tangerang.
Belum lagi ditambah pernyataan berikut ini:
Hingga kini, pengedara sepeda motor masih menjadi pelanggar rambu-rambu dan marka jalan nomor satu di Jakarta, disusul kendaraan umum...
Dengan situasi tersebut, aku ingin menggunakan analogi bahwa jika "setan" selalu salah dan sangat dibenci maka "malaikat" dianggap selalu benar dan sangat dicintai. Oleh karena itulah, jika pengguna motor begitu "bernafsu" dalam mengendarai motornya serta bertindak seenaknya sendiri. Apalagi ketika mengalami kecelakaan lalu selalu "pasti" menyalahkan pihak lain (tanpa mau sama sekali introspeksi, apakah mungkin kecelakaan tersebut terjadi karena gaya mengemudi yang tidak adab?); maka mereka dapat disebut dengan istilah "KEMALAIKATAN".

Baca juga sebuah surat terbuka untuk para "malaikat" jalan raya tersebut. Sayangnya, aku sudah jenuh jika berbaik-baik dalam puisi dengan mereka seperti itu.

Tuesday, September 25, 2007

filosofi jurang


Eep Saefulloh Fatah dalam opininya hari ini yang berjudul Menegakkan Politik Lingkungan, menyebutkan satu istilah yaitu "kesadaran yang kasip" yang berarti "kesadaran yang datang terlambat".

Aku sudah lama menyimpulkan tentang "kesadaran kasip" tersebut yang kusebut sebagai "filosofi jurang". Orang Indonesia - tak peduli latar belakang ekonomi, sosial budaya, dan pendidikannya - umumnya menganut "filosofi jurang".

Filosofi ini maksudnya adalah orang tidak akan percaya jika di depannya terdapat sebuah jurang sebelum orang tersebut telah berada di jurang tersebut. Jadi, setelah ia masuk ke dalam jurang tersebut beberapa saat sebelum dia menyentuh dasar jurang baru ia percaya dan mengakui bahwa "Betul, ternyata memang ada jurang di depan saya".

Jika "kesadaran yang kasip" masih bisa ditoleransi oleh pepatah "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Namun, "filosofi jurang" tidak mentolerir keterlambatan. Karena, keterlambatan hanya milik mereka yang belum sampai masuk jurang. Kalau sudah masuk jurang, ya sudah...

Monday, September 24, 2007

double good news!

Just want to share double good news:

I am happy to welcome
Brama Vidya Putra
First son of my best friend - Paksi and Beby. May God bless you all.

What? I said "double"? Yes, hearing of baby birth news is worth "double" for me. One for the baby and the other one is for the parents, particularly the mother. Am I wrong?

Once again, have a great welcome for Brama! or Vidya? or Putra?* Picture will update soon.

*I should ask his father or mother first what is his nickname...

Thursday, September 20, 2007

selamat datang Ramadan

"Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam kekurangan dan kefanaan, manusia hadir mau tak mau mengalami dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit bau basah tidak ada dalam Manusia dengan ”M”. Seraya bersentuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami dan menyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari waktu ke waktu, perbedaan dari satu situasi ke situasi lain."
Kutipan dari Catatan Pinggir Goenawan Muhammad (GM) yang berjudul "Puasa" mengingatkanku bahwa Ramadan sudah datang tahun ini dan aku ingin menghaturkan selamat menjalankan ibadah puasa untuk semua saudara-saudari Muslim.

Wednesday, September 19, 2007

Quote of the day: The things that will destroy us...

"The things that will destroy us are:
  • politics without principle;
  • pleasure without conscience;
  • wealth without work;
  • knowledge without character;
  • business without morality;
  • science without humanity; and
  • worship without sacrifice."
Great quote by Mahatma Mohandas K. Gandhi


Powered by ScribeFire.

Monday, September 10, 2007

Kenaikan Tarif Tol vis-à-vis Hasil Survei


Hasil survei yang dilakukan oleh Indonesia Development Monitoring (IDM) diberi judul oleh Detik.com dengan "Tarif Tol Naik, Kok Hasil Survei Malah Memuaskan". Judul berita tersebut bernada pertanyaan. Menurutku, kemungkinan tanggapan atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.

Aku tidak memiliki laporan survey IDM ini secara lengkap. Namun, dari sumber yang berhasil kutemukan ditengarai bahwa survey IDM mengenai kepuasan penggunaan jalan tol terhadap kebutuhan dan performance jalan tol tersebut, konon dilakukan dengan tujuan umum untuk melihat seberapa persenkah kepuasan penggunaan jalan tol di daerah DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta yang terkenal akan kemacetan, yang berbanding dengan tingkat kebutuhan dan performance jalan tol itu sendiri(?).

Menurutku, ada kerancuan dalam menetapkan variabel dan kemungkinan hubungan (kausalitas). Yang aku pahami dari pernyataan tujuan penelitian tersebut adalah ada hubungan antara tingkat kebutuhan dan performance dengan kepuasan pengguna jalan tol. Misal, diduga bahwa seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan performance jalan tol maka kepuasan pengguna juga meningkat. Betul demikian? Menurutku, tidaklah sesederhana ini.

Survei dilakukan bulan Agustus 2007 (berarti jauh sebelum penerapan tarif tol baru) dan dilakukan di DKI Jakarta, Medan, Jawa Barat dan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dengan jumlah total responden 1.200 orang yang terbagi menurut tiga (tertulis di sumber, dua?) kategori: Pengguna Kelas Atas, Kelas Menengah, dan Kelas Bawah. Lalu dari 1.200 responden tersebut ditetapkan 80% merupakan pengguna jalan tol dan 20% merupakan bukan pengguna jalan tol. Apakah maksud pemisahan ini sesungguhnya?

Jika anda responden yang tidak pernah menggunakan jalan tol, apakah jawaban anda tentang "performance" jalan tol masih sahih? Menurutku tidak! Artinya, survei ini mengandung 20% sampel yang tidak relevan sehingga temuan IDM ada kemungkinan over-estimate. Jika kita bisa melihat pemisahan antara 80% versus 20% tersebut, aku yakin akan ada hal menarik yang muncul untuk menguji kesahihan seluruh instrument survei ini. Misal, ada kemungkinan yang menjawab puas mayoritas berasal dari kelompok yang 20% tersebut. Bisa jadi kan?

Masalah lain dengan pemilihan responden adalah berapa besar komposisi responden di masing-masing wilayah survei di atas? Padahal kita tahu, jumlah jalan tol dan penggunanya yang terbesar di DKI Jakarta. Artinya, jika sebaran respondennya seimbang maka temuannya akan bias ke luar DKI Jakarta. Tidakkah ini akan mempengaruhi hasilnya? Belum lagi soal bagaimana pemilihan responden yang didasarkan pada pembagian tiga kelas penggunaan? Apa dasar pemisahan tersebut? Apa kriteria pengguna kelas atas, menengah, dan bawah? Bagaimana sebaran temuan menurut ketiga kelas tersebut?

Selanjutnya, survei ini menggunakan tiga(?) dimensi pengukuran yaitu Kebutuhan dan Performance yang terbagi lagi ke dalam beberapa atribut. Mulai dari sini saja menurutku sudah ada kejanggalan dan ketidakjelasan pelaksanaan survei ini. Misal, apa definisi kebutuhan? Jika ada dua orang responden, tinggal di sekitar atau dekat dengan akses ke tol. Lalu responden pertama pasti harus menggunakan tol karena lokasi kerjanya memaksa. Sedangkan responden kedua memiliki alternatif untuk tidak mengakses tol karena lokasi kerjanya tidak harus melalui jalan tol. Tidakkah tingkat kebutuhan kedua responden sangat berbeda? Artinya, mengukur kebutuhan responden hanya berdasarkan "pendapat" dan "persepsi" memiliki bias yang kental. Belum lagi jika kita perhitungkan responden yang masuk kategori 20% bukan pengguna tol. Tidakkah hasilnya jadi lebih "menarik" untuk dipertanyakan?!

Sebenarnya masih banyak lagi kejanggalan temuan survei IDM ini. Namun, sementara untuk menjawab pertanyaan judul berita di atas, kemungkinan yang terakhir adalah karena survei ini dilakukan sebelum ada kenaikan tarif tol. Jadi, meskipun survei mendapati bahwa 22,4% responden sangat setuju dan 32,6% setuju atas kenaikan tarif tol per 2 tahun yang didasarkan pada besaran inflasi, responden sesungguhnya tidak memberikan jawaban yang akurat karena mereka tidak mendapatkan pertanyaan yang spesifik. Maksudnya, jika mereka diberikan kemungkinan besaran kenaikan tarif tol secara nominal (bukan disuruh menghitung sendiri secara tidak langsung dengan 'inflasi' bla bla bla...), maka kita pasti akan menemukan bahwa betapa pun responden mampu membayar tol atau responden adalah pengguna tol yang intensif, maka sebagai konsumen si responden pasti akan menunjukkan sikap "price sensitive". Dengan kata lain, kenaikan tarif tol pasti akan mempengaruhi kesediaan (willingness) atau kemampuan (ability) mereka untuk menggunakan jalan tol.

Kesimpulannya, temuan yang mengatakan bahwa 64,2% responden menyatakan tidak terpengaruh oleh kenaikan tarif tol adalah omong kosong! Survei IDM patut dipertanyakan.


Powered by ScribeFire.

Tentang PLTN

Menurut Abram Perdana, ada tiga risiko ekonomi PLTN. Salah satunya, dan menurutku ini yang paling 'laten' adalah:
Ketiga, risiko tanggung jawab jangka panjang. Risiko ini terkait dengan ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir. Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul kemungkinan dana tersebut tidak cukup dikemudian hari. Kemungkinan itu bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat meramal masa depan, penuh ketidakpastian
Coba perhatikan kata-kata kunci yang aku sorot: risiko tanggung jawab jangka panjang, penyimpanan akhir limbah nuklir, dan penuh ketidakpastian. Ketiga kata-kata kunci tersebut adalah alasan utamaku saat ini untuk menolak PLTN di Indonesia. Menurutku, pemerintah Indonesia belum memiliki kesiapan dan pemikiran "jangka panjang". Padahal, nuklir memiliki implikasi jangka panjang yang serius. Selain implikasi positif yang sudah sering disebut-sebut, satu implikasi negatif yang jarang sekali terdengar dari para pendukung PLTN adalah bagaimana mengelola limbah nuklir dari PLTN tersebut.

Jika memang manfaat (benefit) dari emisi nol yang dihasilkan PLTN bisa melebihi biaya (cost) pengelolaan limbah nuklir, mungkin aku bisa setuju untuk PLTN dibangun. Namun, menurutku biaya yang ditimbulkan oleh limbah nuklir bukan hanya dari aspek pengelolaannya, melainkan juga dari aspek kegagalan pengelolaan atau eksternalitas jika terjadi kebocoran radiasi. Dan dampak kegagalan tersebut memiliki sifat jangka panjang dan skala dampaknya sangat luas. Inilah juga yang menurutku termasuk dari eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Dan oleh sebab itu, sudah siapkah pemerintah untuk menanggung eskalasi biaya tersebut? Kegagalan sikap pemerintah dalam menangani kasus lumpur Lapindo merupakan contoh betapa pemerintah tidak pernah siap menghadapi eskalasi "biaya" sosial atas suatu proyek pembangunan yang mengalami kegagalan. Apa yang terjadi jika kita mengalami "lumpur radioaktif" akibat limbah nuklir atau kebocoran reaktor PLTN?

Jadi, jika Carunia Mulya Firdausy dalam opininya menanyakan "PLTN, Mengapa Dikhawatirkan?". Jawabnya, kita harus khawatir dengan PLTN karena disamping manfaat yang jelas dan pasti kita akan peroleh namun kita juga harus memperhitungkan dengan sangat seksama biaya dan risiko jangka panjang dari PLTN ini termasuk biaya paling ekstrim yang mungkin terjadi jika PLTN tersebut mengalami kegagalan. Betul bahwa korupsi bisa diatasi, tapi apakah mengatasi korupsi saja sudah cukup dan apakah mudah mengatasinya? Sudahkah Indonesia berhasil dengan korupsi hingga hari ini? Korupsi hanyalah kemasan kasat mata yang saat ini jelas masih menjadi momok bagi negara. Tapi, apakah masih perlu menambah momok tersebut dengan kegagalan lingkungan akibat limbah dan kebocoran nuklir?

Jika pemerintah sudah siap dengan segala kemungkinan tersebut, bolehlah dibangun PLTN tersebut. Tapi, selama pemerintah belum sanggup maka sedianya pemerintah jangan berjudi dengan ketidakpastian dan ketidaksiapan.

Kelembagaan

Artikel Faisal Basri hari ini yang berjudul "Penguatan Kelembagaan Tercecer", menarik perhatianku dalam dua cara.

Pertama, aku merasakan sentimentil karena dia menyebut Norwegia sebagai salah satu contoh negara kesejahteraan (welfare state) yang memiliki kerangka kelembagaan (institutional framework) yang baik. Karena aku pernah mengecap kehidupan di negeri tersebut tersebut, aku sangat setuju tentang betapa baik kelembagaan di Norwegia. Tata kehidupannya pun relatif ideal, dimana dari sudut pandangku sendiri, masyarakat Norwegia memiliki prinsip hidup yang jelas antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Mereka bisa memisahkan dengan baik, mana yang berkaitan dengan urusan pribadi dan mana yang merupakan kemashalatan rakyat. Disiplin dan kejujuran jadi hal yang penting untuk dijadikan tingkah laku, bukan sekedar jargon pun ayat-ayat suci semata. Korupsi merupakan aib yang dianggap melanggar etika bangsa. Itu hanyalah sebagian kecil "sukses" Norwegia yang membuatku selalu terpukau dan kadang mendatangkan kerinduan yang sentimentil tadi.

Kedua, Faisal Basri berargumen tentang pentingnya menguatkan kelembagaan seperti dicontohkan oleh Norwegia dan negara-negara kesejahteraan lain: Swiss, Denmark, Swedia, dan Amerika Serikat. Namun, seperti juga ditulis oleh Aco (baca di sini), menjadi negara kesejahteraan dan kemudian memiliki kelembagaan yang kuat sangatlah tergantung pada pertanyaan bagaimana membiayai semua itu. Aku setuju dengan Aco bahwa menjadi negara kesejahteraan memiliki implikasi pajak, yang mana mereka pasti menerapkan dan mengenakan tarif pajak yang sangat tinggi bagi warganya. Untuk contoh di Norwegia, aku sudah mengalami sendiri bagaimana harus menyerahkan hampir separuh "honor" mengajar sebagai asisten dosen yang tidaklah seberapa sebagai pajak. Meski kemudian aku memperoleh 'pengembalian' (tax return), namun hal tersebut membuktikan bahwa pajak menjadi sangat vital bagi negara kesejahteraan.

Sayangnya, jika pajak ini dijadikan "sumber" pembiayaan bagi Indonesia saat ini, yang menjadi kekhawatiran adalah seberapa banyak rakyat bisa diperah untuk diambil pajaknya? Dan, yang ini lebih penting, apakah negara sudah memiliki etika dan sistem yang nyata untuk "mempertanggungjawabkan" semua penerimaan (baca: pajak yang dibayar masyarakat) bagi negara untuk "kesejahteraan"? Untuk hal ini, aku sangatlah skeptis dan pesimis. "It's hard habit to break", kata Chicago.

Menyambung tentang pajak dan kelembagaan tersebut, yang patut digarisbawahi adalah peran kelembagaan keuangan negara menjadi sangat utama dalam kaitannya dengan kelembagaan tersebut. Aku pernah bercerita tentang bagaimana "menarik"-nya cara Norwegia melakukan klaim pajak di sini. Maksudku adalah pemikiran yang sistematis dan komprehensif dalam menguatkan kelembagaan perlu dilakukan dengan memperhatikan situasi, kondisi dan pengetahuan masyarakat Indonesia. Sayangnya, Faisal Basri masih membahas secara umum kelembagaan di Indonesia. Padahal pertanyaan besar dalam hal kelembagaan di Indonesia adalah kelembagaan yang mana yang harus dikuatkan, bagaimana dan siapa yang bisa? Ini menjadi sulit untuk dirumuskan, bukan?

Norwegia dan negara-negara kesejahteraan lain menghadapi kemudahan dalam mengelola "kesejahteraan" negaranya karena beberapa hal: jumlah penduduk yang relatif kecil, luas negara yang tidak terlalu besar, tingkat keragaman masyarakat yang relatif homogen, dan faktor sejarah yang panjang dengan tingkat pembelajaran yang sudah optimal. Sedangkan Indonesia, faktanya memiliki penduduk yang besar dan beragam dan tingkat pendidikan yang masih relatif rendah. Semua itu mengakibatkan, tidak serta merta Indonesia bisa mengadopsi kerangka kelembagaan negara lain. Melainkan, Indonesia harus mencari dan mengembangkan kerangka kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik tersebut. Semua hal tersebut membutuhkan pemikiran yang menyeluruh, bukan sekedar merancang proyek atau program pembangunan lima tahunan!

Targetnya saat ini bukanlah menjadi negara kesejahteraan dengan ciri dan definisi yang sama persis seperti The Scandinavian. Mereka bisa kita jadikan rujukan. Targetnya saat ini adalah untuk menjadi lebih baik dan berubah ke arah yang semakin ideal bagi cita-cita kesejahteraan. Ideal di sini berarti semua orang merasakan perubahan tersebut dan merasakan kondisinya lebih baik.

Friday, September 07, 2007

"Green" cars? Sure?


"If someone says their car is more 'green' or 'environmentally friendly' than others then they would have to be able to document it in every aspect from production, to emissions, to energy use, to recycling,"
As I found recently that Indonesian automotive producers claim that their engine already complience with Euro2 emission standard. What does it mean to Indonesian consumers? Nothing, I believe so! Well, maybe few consumer already started to concern with such issue. But, do they know about real "green" or "environmental friendly" definitions? The above quote has really a deep meaning of "green".

I love to promote "green" car. But honestly, I only know few about what actually a "green" car is. As for my own car - it's a Japanese small city car of Suzuki Karimun - I proudly claimed that it consume quite efficient fuel. I used non-leaded (low?) fuel produced by Petronas, Primax 92 with expectation that it will also increase the efficiency of fuel consumption. So far, I manage to have 1 litre of Primax 92 for almost 15 to 16 km of driving. Since then, I really expect to have more green car in the future especially in Indonesia.

However, this news has inspire me more. Never expect car producers who claimed that their cars are more "green" than others. Like reading ads of motorcycle in Indonesia said that "our motorcyle already Euro2 standard". It's meaningless as the consumers (motorists) do not understand what does it mean and even the consumers do not have particular strategy to manage their fuel consumption efficiently. It's a complex issue that require a comprehensive strategy.

No worries, my dear friends. I do not wish Indonesia to be "green" very soon. Many people said that Indonesia is still in poor condition so then we have more right no to be so green. I am sure enough that you will 110% agree on that! Thanks God, I don not agree... there must be something that the poor Indonesia can do to be green. It's just a matter of willingness...

Thursday, September 06, 2007

Another (latent) failure...


In the case of energy conversion from kerosene to gas, it is obvious that government create double failure.

First, they failed to inform people about why people have to convert to gas. How can you expect people certainly willing to give up using kerosene after long time and convert into gas only in "one night stand" without knowing why and how? Transition and learning process are definitely need to be consider by all of those conversion supporter.

Second, they failed to communicate all of their program for sure including those energy conversion. This failure also applied for other government policies or program action as government staff and officers actually never been in the middle of their people. They never know exactly how is the situation among the people. They do not know how to talk to their people. Thus, whatever incentive they offered or policies designed by government they will always failed before launched because lack of communication capability.

That is why the above cartoon of Om Pasikom (kompas) so nicely one hundred percent correct!

Tuesday, September 04, 2007

Population Does Matter, right?


From Debnath Guharoy (Roy Morgan Consultant), in The Jakarta Post article "The 'Top 20 Cities' obsession doesn't make any marketing sense"
That amounts of 140 million people above the age of 14, all consumers in their own right. Only 25 percent of those 140 million people live in the top 20 cities, another 23 percent live in smaller towns and a massive 52 percent live in Indonesia's rural villages.
By then, you should be realized that we need to know particular information about population structure by age, gender, place of living (urban vs rural), and - if necessary - by region/province/district, etc. In fact, the analysis could be done further using various kind of statistical method or only simple descriptive approach for more detail information about population. The information exists indeed not only as much as those marketing people looking for, just like provided by many research marketing agencies.

What I want to say is actually for government at central and regional level only. Why don't you all just start to admit that population does matter?

Monday, September 03, 2007

(Malaysia) Police Brutality Poster: Great!


I just want to share what I've found in this blog, a very nice poster on Malaysian Police Brutality. Enjoy!

No Need to be Sorry!

Opini yang bagus oleh Hery Tjahjono di Kompas hari ini, berjudul "Jangan Lagi Mengemis Kata "Maaf"!". Memang seharusnya Indonesia - terutama para pemimpinnya - bisa bersikap tegas dan jelas dalam hal mau dibawa ke mana kewibawaan negara dan bangsa ini. Jika Malaysia boleh dan bisa menginjak-injak warga Indonesia yang berkontribusi baik langsung maupun tidak, legal atau pun belum legal (baca: ilegal), terhadap perekonomian Malaysia, maka Indonesia sudah seharusnya memperhatikan nasib warganya yang diinjak-injak di negara tetangga dengan cara menyelamatkan mereka dan "mengutuk keras" perlakuan semena-mena si tetangga tersebut. Tanpa perlu "mengutuk" dengan cara memutus hubungan diplomatik atau bersikap sama barbar dan diskriminatif-nya seperti tetangga tersebut, Indonesia cukup berpikir keras bagaimana caranya memberikan ruang hidup yang lebih baik bagi mereka yang teraniaya di negara yang "katanya" saudara "serumpun" itu. Seperti dikatakan oleh Tjahjono,
Maka para saudaraku, jangan lagi menuntut (baca: mengemis) kata "maaf" dari Malaysia. Itu justru refleksi dari tergerusnya martabat kita sampai ke titik nadir. Kita tak perlu maaf, kita perlu rasa hormat mereka. Dan itu tugas para pemimpin untuk bekerja lebih "sehat"!
Cara "mengutuk" yang konstruktif adalah panggil pulang tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Siapkan mereka dengan segala legalitas dan ketrampilan yang jauh lebih bermartabat. Jika memang para pemimpin bisa mendidik dan menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang lebih berkualitas, maka janganlah lagi berpikir untuk bekerja ke Malaysia yang tak sedikit pun memiliki hormat atas tetangga mereka. Masih banyak negara lain yang jauh lebih maju, lebih besar, yang sangat menghargai kerja dan kemanusiaan tanpa memandang "rumpun" bangsa mana. Go to hell with "serumpun"-lah!

No need to be sorry! We are a great nation, so think and act like one!

Sunday, September 02, 2007

Quote of the day: Kekuasaan dan Agama

"Abad ke-20 adalah abad yang kian mengingatkan bahwa mustahil ada kekuasaan yang dapat selamanya kencang dan mampu sepenuhnya mengisi ruang kehidupan - apalagi mengisinya dengan kepastian. Bahkan agama tidak dapat dipakai untuk menopang takhta dan kepastiannya."

Turki by Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir, Majalah Tempo Edisi 27/27 Agustus - 02 September 2007

Rest in Peace: Badeng


Today, Saturday September 1st 2007 is the most heartbreaking moment for me.

A best friend of mine and my family has died at 9 pm, after got sick with tumor at his mouth for several weeks. His name is Badeng, our lovely black dog. He has been become our family member for exactly 12 years last August and become one of the longest being with us after our first dog Ken Ken who died at 5 years old. One thing that makes me very sad is that I could not have a chance to see his very last moment and to say farewell and thank you for his kind friendship that he had shown us – me and my family – for 12 long years.

Have a nice journey, Badeng. Rest in peace and be happy when you meet the Lord Hyang Agung. Thank you so much for your memorable kind presence, loyalty, and friendship. I will miss you so much, you naughty dog! We love you so much, Badeng.